ADAKAH DEMOKRASI DALAM ISLAM?
Demokrasi, itulah pijakan hukum negeri kita indonesia. sebuah gagasan hidup yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama bagi semua warga negara. Dan di antara produk demokrasi adalah demonstrasi, unjuk rasa dan pemilu (pemilihan umum). Maka tidak heran banyak orang berbondong-bondong terjun ke dalam kancah politik menurut visi dan misi serta garis perjuangan mereka masing-masing, sehingga dalam tubuh umat islam indonesia banyak bermunculan partai-partai politik baru yang ikut meramaikan percaturan politik negri ini, bahkan banyak ormas-ormas islam yang tadinya bersatu dalam membangun visi dan misi mereka, kini telah terpecah belah menjadi bebarapa kubu. Persaudaraan yang sebelumnya erat tapi setelah pindah partai berubah menjadi kesenggangan. Dan banyak tokoh-tokoh politik sampai menghambur-hamburkan harta mereka sampai bermiliyaran rupiah untuk mengkampanyekan partainya, terbukti, terlihat di pinggir-pinggir jalan, terminal, dan tempat-tempat ramai lainnya, terpampang wajah-wajah celon pemimpin bangsa. Yang sedemikian itu pasti memerlukan biaya yang tidak sedikit. Coba bila di sumbangkan kepada faqir miskin dan anak-anak yatim pasti akan lebih baik. Semua ini jelas-jelas telah keluar dari jalur syar’i. memperunakan harta bukan pada tempatnya, dan ini merupakan bentuk panghamburan harta yang telah di larang oleh Alloh, sebagaimana Alloh berfirman:
وَءَاتِ ذَا ٱلْقُرْبَىٰ حَقَّهُۥ وَٱلْمِسْكِينَ وَٱبْنَ ٱلسَّبِيلِ وَلَا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا
” Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.”(QS. Al-Isro [17]: 26-27).
Ketahuilah, sistem dan undang yang ada pada tubuh demokrasi adalah produknya orang-orang yahudi, hasil gagasan orang kafir. Tidak ada pada masa-masa khilafah islamiyah, baik itu masa khulafa rosyidin, umayyah, Abbasiyah dan akhir dari khilafah utsmaniyah, mereka membangun sistem pemerintahan dan politik negara dengan hukum demokrasi. Kalau memang demikian, patutkah kita penganut agama islam berkiblat kepada mereka. Padahal Alloh berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَىٰ أَوْلِيَاءَ ۘ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ ۚ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, Maka Sesungguhnya orang itu Termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim. (QS. al-Maidah [05]: 51)
Oleh karena itu, sebagai seorang muslim sudah sepatutnya harus mengetahui terlebih dahulu apakah aktifitas semacam ini dibenarkan secara syar’i. Mungkinkah kita memperjuangkan islam melalui sistem demokrasi, pemilu, masuk parlemen?. Adakah hal ini semua dipraktekkan oleh Rosululloh, para sahabat serta tabi’in. Mereka merupakan genersi terbaik umat ini. Dan ternyata Rosululloh telah menolaknya mentah memperjuangkan islam dengan cara ini, bahkan hal ini akan banyak menimbulkan kemadhorotan dan menghilangkan sikap wala dan baro dalam islam yang merupakan kensekwensi aqidah seorang muslim yang harus diperthankan.
Maka tidak ada kebaikan sedikitpun kecuali kita menontoh suri tauladan umat ini yaitu Nabi kita Muhammad dan para shohabat-Nya begitu pula para tabi’in yang sudah mapan keilmuwan mereka dalam masalah politik. Cukuplah mereka kita jadikan panutan dalam menjalankan politik negara dan masalah kepemimpinan. Karena untuk meraih kembali kejayaan islam yang kini telah terlapas dari kaum muslimin maka hendaklah kita mengingat pekataan Imam Malik:
لا يصلح أخر هذه الأمة إلا بما صلح به أولها
Tidak akan baik penghujung umat ini kecuali jika mereka mengikuti jejak generasi pertmanya. (Lihat Hal al-Muslimu muljimun bittiba’I madzhab mu’ayyan: 100).
Arti demokrasi dan asal usulnya
Dalam bahasa Yunani demokrasi terdiri dari dua kata Demos artinya Rakyat Cratein artinya Pemerintah. Arti demokrasi adalah bentuk atau sistem pemerintahan yang seluruh rakyatnya turut serta memerintah dengan prantara wakilnya (pemerintah rakyat). Makanya sering kita dengar slogan “dari rakyat untuk rakyat“, memang itulah arti demokrasi yang sebenarnya.
Istilah demokrasi berasal dari yunani kuno yang di cetuskan di athena kuno pada abad ke-5 sebelum masehi. Salah satu pilar demokrasi adalah prinsip trias politica yang membagi ketiga kekuasaan politik negara (eksekutif, yudikatif dan legislatif). Begitu pula di antara cabang demokrasi adanya pemilu (pemilihan Umum), semua lapisan masyarakat harus menentukan hak pilihnya.
Demokrasi dalam kaca mata islam
Jika kita mencermati dari asal usul demokrasi, jelas bahwa demokrasi bukan bersal dari islam, sedangkan sebuah hukum yang tidak bersandar pada hukum Alloh dan bukan hukum islam maka hukum tersebut adalah hukum jahiliyyah.
Perhatikanlah firman Alloh berikut ini:
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ ۚ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
“Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin ?. (QS. Al-Maidah [05]: 50).
Berkata Syaikh Muhammad bin Abdulloh al Imam: Alloh menjelaskan bahwa tidak ada hukum kecuali dua hukum, hukum Alloh dan hukum makhluknya. Dan telah di jelaskan pula bahwa semua hukum selain hukumnya merupakan hukum jahiliyah dan tidak mungkin menyamai hukumnya tersebut. (Lihat tanwirul Dzulumat: 19).
Dalam islam, permasalahan yang terjadi yang diakibatkan adanya perselisihan maka haru dikembalikan kepada Alloh dan Rosulnya (al-Qur’an dan as sunnah).
Sebagaimana Alloh berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. An-Nisa [03]: 59).
Adapun dalam demokrasi, mana ada ketika menyelesaikan sebuah perkara di kembalikan kepada alqur’an dan assunnah. Maka dari sini, jelas bahwa demokrasi bukan dari bagian islam dan bukan termasuk hukum Alloh akan tetapi produk-produknya orang-orang kafir, sedangkan orang yang berhukum kepada selain hukum Alloh adalah termasuk orang-orang yang dzolim.
Sebagaimana dinyatakan Oleh Alloh dalam salah satu firman-Nya:
فَمَنْ تَصَدَّقَ بِهِ فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَهُ ۚ وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ…
“…..Barang siapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang dzalim” (Al-Maidah [05]: 45).
Di lain tempat Alloh menyebutkan orang yang berhukum kepada selain hukum Alloh maka ia termasuk orang-orang yang berbuat kefasikan:
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ…
“…..Barangsiapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik.” (Al-Maidah [05]: 47).
Bahkan di lain tempat Alloh menyebutkan telah kafirkan orang-orang yang berhukum kepada selain hukum Alloh. Sebagaimana di tegaskan:
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ…
“…..Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir” (Al-Maidah: 44).
Alangkah buruknya orang-orang yang tidak berhukum kepada selain Alloh, Sedangkan demokrasi adalah hukum di luar dari hukum Alloh, bagaimana tidak?, karena Demokrasi mempunyai prinsif yang mengatakan bahwa hukum ada di tangan rakyat, padahal Allah ‘azza wajalla berfirman:
إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ ۚ أَمَرَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ ۚ ذَٰلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. Yusuf [12]: 40)
Apakah sama antara demokrasi dan musyawarah?
Alloh telah memerintahkan hambanya untuk bermusyawarah dalam menyelesaikan segala masalah. Sebagaimana Alloh berfirman:
وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ ۖ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ…
Dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. (QS. Ali-Imron [03]: 159).
Namun, yang menjadi musibah besar, banyak orang yang menafsirkan musyawarah di sini adalah demokrasi, Mereka menjadikan arti musyawarah ini sebagai pemukutan suara kepada setiap masyarakat, melibatkan seluruh aspek masyarakat untuk bermusyawarah dalam perkara-perkara yang besar seperti politk negara, memimpin negara. Inilah penafsiran yang di dasari dengan hawa nafsu belaka, berbicara tentang al-Qur’an tanpa di dasari dengan ilmu, akhirnya salah kafrah dalam bebicara.
Benar apa yang sabdakan oleh Rosululloh:
إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مَايَتَبَيَّنُ فِيْهَا َيزِلُّ بِهَا فِي النَّارِ أَبْعَدَ مِمَّابَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ
Sesungguhnya seorang hamba mengatakan suatu perkataan yang tak di klarifikasikannya niscaya ia akan tergelincir ke dalam api neraka lebih jauh dari apa-apa antara masyrik dan maghrib. (HR. Bukhori: 6477, Muslim: 2988)
Imam Nawawi berkata: Hadits ini mengisyaratkkan tentang anjuran menjaga lisan maka hendaklah orang yang ingin bicara berfikir sebelumnya dari apa-apa yang ingin di ucapkannya, jika nampak kebaikan baginya maka bicarakanlah namun apabila tidak nampak kebaikan maka tahanlah dari perkataan tersebut. (Lihat fathul bari: 11/377).
Perlu di ketahui bahwa demokrasi dan musyawarah tidak ada persamaan antara keduanya, baik dalam masalah furu’nya, terlebih-lebih masalah pokoknya. Bagaimana mungkin keduanya ada persamaan, wong segala langkahnya saja berbeda.
- Pencipta demokrasi adalah Yahudi si musuh bebuyutan kaum muslim, mereka tidak akan ridho sampai benar-benar umat islam mengikuti langkah-langkah mereka. Adapun musyawarah dalam Islam yang mensyariatkan adalah Allah sebagaimana ayat di atas. Patutkah seorang muslim berhukum kepada selain hukum Alloh.
أَفَغَيْرَ اللَّهِ أَبْتَغِي حَكَمًا
Maka patutkah aku mencari hakim selain dari pada Allah. (al- An’aam 114).
- Musyawarah dalam islam yang berkaitan dengan masalah politik negara dan kepemiminan hanya diikuti oleh para ulama dan orang-orang sholih lagi ikhlas. Adapun demokrasi diikuti oleh semua kalangan dan semua elemen masyarakat entah itu orang kafir, orang jahil, orang fasiq, ibu-ibu, dan semuanya, sampai orang yang belum perbnah mengenyam pendidikan islam ikut andil berbiacara menentukan hak pilihnya.
Apakah boleh menyamakan orang-orang yang sholeh bertaqwa lagi ikhlas dengan orang jahil lagi fasik. Maka perhatikanlah jawaban dari Alloh:
أَفَنَجْعَلُ الْمُسْلِمِينَ كَالْمُجْرِمِينَ
” Maka Apakah patut Kami menjadikan orng-orang Islam itu sama dengan orang-orang yang berdosa (orang kafir)? (QS. Al-Qolam [68]: 35)
- Musyawarah berjalan di atas undang-undang yang telah di atur oleh Alloh, tidak menghalalkan yang harom dan tidak pula mengharomkan yang telah di halalkan oleh Alloh. Berbeda dengan demokrasi menghalalkan yang telah di haromkan oleh Alloh dan juga sebaliknya, dengan dalih “yang penting rakyat sejahtra”. Musyawarah dalam islam bila mendapatkan perselisihan maka tempat kembalinya adalah al-Qur’an dan as-Sunnah dan tidak akan menerjang norma-norma islam. Adapun anggota parlemen yang berkecimpung dalam Demokrasi tuhan mereka adalah akal dan buah fikiran mereka semata, tanpa memperhatikan norma-norma islam yang belaku.
Mereka tidak memperkatikan firman Alloh berikut ini:
أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ ۚ وَلَوْلَا كَلِمَةُ الْفَصْلِ لَقُضِيَ بَيْنَهُمْ ۗ وَإِنَّ الظَّالِمِينَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah? Sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka telah dibinasakan. dan Sesungguhnya orang-orang yang zalim itu akan memperoleh azab yang Amat pedih. (QS. As-Syuro [42]: 21).
- Musyawarah dalam Islam bukan merupakan kewajiban dalam tiap waktu. Akan tetapi kebutuhan musyawarah ini tergantung kepada situasi dan kondisi, oleh karena itu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, terkadang bermusyawarah dengan para sahabat di beberapa peperangan dan terkadang tidak bermusyawarah. Adapun demokrasi adalah wajib bagi penganutnya, tidak boleh menyusun, meletakkan dan melaksanakan sesuatu kecuali setelah melalui proses demokrasi.
- Demokrasi menolak mentah-mentah syari’at islam dengan anggapan bahwa uandang-undang yang di buat berdasarkan syariat islam sudah tidak relevan lagi di abad modern ini, syariat islam hukum klasik sudah ketinggalan zaman tidak pantas lagi dijadikan hukum pada zaman sekarang ini. Naudzu billah.
- Musyawarah dalam Islam lahir seiring dengan datangnya Islam sedangkan sistem demokrasi lahir abad 18 atau 19. Maka apakah bisa dikatakan bahwa Rasulullah itu seorang demokrat ? begitu pula para shohabat-Nya apakah mereka di katakan para demokrat. Jawabnya adalah tidak sama sekali.
- Demokrasi adalah hukum dari rakyat untuk rakyat, sedangkan dalam musyawarah tidak ada penciptaan hukum baru, akan tetapi bentuknya adalah tolong menolong dalam memahami al-Haq dan melaksanakannya. (Lihat Tanwirul Dzulumat: 34-37).
Musyawarah menurut syariat Islam .
Banyak orang yang salah paham dalam menafsirkan ayat-ayat musyawarah di dalam Al Qur’an yaitu ayat:
“Dan bermusyawarahlah dengan mereka dcilam urusan itu. (Ali Imran: 159)
Sebagian orang jahil menggunakan ayat-ayat tersebut sebagai dalil pengesahan demokrasi!. Tentu saja hal ini adalah sebuah kebathilan yang nyata. Telah disebutkan pada pembahasan di atas sepuluh perbedaan antara demokrasi dengan musyawarah. Di lain pihak ada juga sebagian orang yang menolak konsep demokrasi akan tetapi jatuh ke dalam kubangan demokrasi tanpa mereka sadari. Mereka menjadikan musyawarah ini sebagai ajang tukar pendapat yang diikuti seluruh ummat, yaitu mereka melibatkan seluruh ummat untuk bermusyawarah dalam perkara-perkara yang besar seperti politik ummat dan sebagainya. Dan lebih bodoh lagi adalah semua permasalahan mereka putuskan melalui musyawarah, walaupun sudah ada dalil yang jelas dan gamblang dari Al Qur’an, As-Sunnah dan Al-Ijma’.
Kekeliruan ini terjadi karena mereka tidak mengetahui konsep musyawarah yang Islami, akibatnya mereka menerapkan musyawarah ini seperti konsep demokrasi, dimana keputusan ditentukan dengan suara terbanyak atau dengan kemufakatan/kesepakatan di antara mereka tanpa menghiraukan apakah sesuai dengan syariat atau tidak. Hal seperti ini wajar sebab pesertanya adalah orang-orang yang jahil tentang syariat dan landasannya juga bukan syariat, tetapi kepentingan dan kehendak umum. Demikian halnya demokrasi dengan segala macam versinya.
Lalu bagaimanakah konsep musyawarah di dalam Islam?
Maka ketahuilah wahai saudaraku – semoga Allah menyelamatkan kita dari kebodohan – bahwa musyawarah dalam Islam ditegakkan dalam dua perkara:
- Musyawarah hanya khusus bagi imam dan ahli ilmu baik musyawarah itu di antara mereka ahli ilmu dan ulama’ atau antara mereka dengan para penguasa.
- Musyawarah hanya pada permasalahan yang tidak terdapat di dalamnya ketetapan dari Kitabullah atau Sunnah Rasul-Nya.
Imam Al-Bukhari menetapkan sebuah bab dalam kitab shahih beliau bab: Bithanatul Imam wa ahli Masyuratihi, al Bithanatu addukhla’, yaitu bab orang kepercayaan imam dari anggota musyawarahnya. Al Bithanah adalah orang dekat/kepercayaan.
Kemudian Imam Al-Bukhari membawakan sebuah hadits dari Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam yang berbunyi:
“Tidaklah Allah mengutus seorang nabi atau mengangkat seorang khalifah melainkan pasti disertai oleh dua orang kepercayaan, seorang memerintahkannya kepada yang ma’ruf dan mendorongnya kepada yang ma’ruf dan seorang lagi memerintahkan kepad. kejahatan serta mendorongnya ke arah itu dan yang terjaga ada yang dilindungi oleh Allah.
Dari hadits tersebut dan dari bab yang ditetapkan oleh Imam Bukhari jelas menunjukkan bahwa anggota musyawarah itu bukan seluruh ummat, sebagaimana sangkaan sebagian orang, akan tetapi adalah bithanah (orang kepercayaan imam).
Imam At-Tirmidzi telah membawakan kisah keluarnya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, Abu bakar dan Umar radhiyallahu ‘anhuma dari rumah mereka karena merasa lapar. Kisah ini menunjukkan bahwa Abu Bakar dan Umar adalah bithanah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Oleh karena itu perhatikanlah betapa dalamnya fiqh Ibnu Abbas tatkala menafsirkan firman Allah subhana wa ta’ala:
“Dan bermusyawarahlah mereka dalam urusan itu. (Ali Imran : 159)
Beliau berkata: “(Mereka adalah) Abu Bakar dan Umar radhiyallahu ‘anhuma.” (Dikeluarkan oleh imam Al Hakim dalam Mustadrak 3/70 dengan sanad yang shahih).
Barangsiapa yang menelaah sirah/sejarah Rasulullah , dalam mengatasi kasus-kasus yang ada, maka ia akan mendapati bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam tidak mengajak musyawarah kecuali beberapa shahabat. Di antaranya adalah yang diriwayatkan Imam Muslim tentang kisah tawanan peperangan Badar dari Abdullah bin Abbas, ia berkata:
Tatkala tentara kaum Muslimin telah menawan tawanan perang, Rasulullah pun bertanya kepada Abu Bakar dan Umar: “Bagaimana pandangan kalian tentang tawanan perang itu?” Abu Bakar berkata: “Wahai Rasulullah, mereka adalah saudara-saudara sepupu dan sanak kerabat dekat, aku berpendapat agar engkau mengambil fidyah (tebusan) dari mereka hingga kita mempunyai kekuatan atas orang-orang kafir, mudah-mudahan Allah menunjuki mereka ke dalam Islam.”
Rasulullah berkata: “Bagaimana pendapat mu, wahai Ibnul Khattab ?”
Umar berkata: “Tidak, demi Allah aku tidak sependapat dengan pendapat Abu Bakar, akan tetapi aku berpendapat agar engkau memberikan kuasa kepada kami untuk menebas leher-leher mereka. Engkau berikan kuasa kepada Ali untuk menebas leher Uqeil dan engkau berikan kesempatan kepadaku untuk menebas leher Fulan (yang masih satu nasab dengan Umar) sebab mereka adalah tokoh-tokoh kafir dan pembesar-pembesarnya.”
Lalu Rasulullah condong kepada pendapat Abu Bakar dan tidak condong kepada pendapatku. Dan tatkala keesokan harinya aku datang, aku mendapati Rasulullah dan Abu Bakar sedang duduk menangis.
Lalu aku bertanya: “Wahai Rasulullah, coba kabarkan kepadaku apa gerangan yang menyebabkan engkau dan sahabat engkau menangis. Jika ada sesuatu yang menyedihkan maka aku akan menangis, jika tidak maka aku akan berusaha ikut menangis karena tangisan anda berdua.” Maka Rasulullah, berkata: “Aku menangis karena masalah yang menimpa sahabat engkau, karena telah mengambil fidyah (tebusan) dan sungguh telah diserahkan kepadaku untuk mengazab (menyiksa) mereka lebih mudah/ringan ketimbang pohon ini (pohon yang ada di dekat Rasulullah ).”
Lalu Allah menurunkan ayatnya:
“Tidak patut bagi seorang nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi. (al-Anfal: 67)
Sampai kepada ayat:
“Maka, makanlah dari sebagian rampasan perang yang telah kamu ambil itu sebagai makanan yang halal lagi baik. (al-Anfal: 69)
Maka Allah menghalalkan harta ghanimah bagi mereka.
Dari riwayat di atas jelaslah bahwa Rasulullah hanya memanggil orang-orang terdekat (bithanah) untuk bermusyawarah dalam hal ini adalah Abu Bakar dan Umar, selaras dengan tafsir Abdullah bin Abbas di atas. Oleh karena itu Imam Tirmidzi membawakan hadist ini dalam bab: “hal-hal yang berkenaan dengan musyawarah“. Demikian pula Imam al-Bukhari, beliau menyebutkan dalil-dalilnya dalam kitab al-I’tisham dalam kitab shahihnya tentang musyawarah yaitu pengkhususan musyawarah bagi kelompok ulama dan ahli ilmu.
Tidak ada musyawarah untuk perkara-perkara yang sudah ada nash yang pasti dan jelas dari al-Qur’an dan as-Sunnah
Imam al-Bukhari telah mencantumkan sebuah bab dalam shahih beliau Tentang firman Allah subhana wa ta’ala: [Asy-Syura: 38] dan [Ali ‘Imran: 159] “Melaksanakan musyawarah itu sebelum kebulatan tekad dan kejelasan“, berlandaskan firman Allah
“Kemudian jika telah membulatkan tekad maka bertakwalah kepada Allah. (Ali Imran:. 159).
Apabila Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam telah memutuskan (sebuah perkara) maka tidak boleh bagi seorangpun untuk mendahului Allah dan Rasul-Nya. Rasulullah telah bermusyawarah bersama sahabat-sahabat beliau pada peperangan Uhud yaitu apakah tinggal di tempat (bertahan) atau keluar, dan tatkala Rasulullah telah mengenakan baju perang beliau dan telah membulatkan tekad untuk keluar, para sahabat berkata: “Kita diam di tempat saja!” Akan tetapi Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam tidak condong terhadap pendapat mereka. Setelah beliau membulatkan tekad, beliau bersabda: “Tidak layak bagi seorang nabi jika ia telah mengenakan baju perangnya lantas ia copot hingga Allah menetapkan keputusan-Nya.”
Dan Rasulullah mengajak Ali bin Abu Thalib serta Usamah bin Zaid bermusyawarah tentang masalah tuduhan ahlu ifki (yang menyiar- kan berita bohong-red) kepada Aisyah, lalu Rasulullah mendengarkan pendapat keduanya. Hingga turunlah ayat al-Qur’an (tentang masalah itu), lalu beliau mencambuk para penuduh dan tidak lagi memperhatikan perdebatan atau persilangan pendapat di antara mereka; akan tetapi menghukum berdasarkan perintah Allah.
Para Imam setelah Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam juga mengajak orang-orang ahli amanah dari kebanyakan ahli ilmu untuk bermusyawarah pada perkara-perkara yang mubah (dibolehkan) untuk mengambil yang paling ringan. Dan jika telah jelas dalil dari Al-Qur’an dan as-Sunnah maka mereka tidak melangkahinya kepada yang lain, meneladani Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dalam hal ini.
Abu Bakar berpendapat untuk memerangi orang yang menampik membayar zakat; akan tetapi Umar berkata bahwa bagaimana bisa engkau memerangi mereka, padahal Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda: “Aku diperintah untuk memerangi manusia hingga mereka mengatakan: ‘ jika mereka telah mengatakannya, maka akan terperiharalah dariku darah mereka dan harta mereka, kecuali dengan haqnva dan hisabnya disisi Allah.”
Abu Bakar berkata: “Demi Allah akan aku perangi orang-orang yang membedakan perkara yang disamakan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Kemudian Umarpun mengikuti pendapat Abu Bakar. Abu Bakar tidak menoleh kepada musyawarah jika ia telah mempunyai hukum dari Rasulullah yaitu tentang orang-orang yang membedakan antara shalat dan zakat dan berupaya untuk mengubah-ubah dien dan hukum-hukumNya.
Sedangkan Rasulullah bersabda: “Barang siapa yang mengganti agamanya maka bunuhlah.”
Dan anggota musyawarah Umar adalah para Qori, baik yang tua maupun yang muda, dan Umar adalah seorang yang selalu tegak di atas Kitabullah. (Shahih Bukhari kitab al-I’thisham bab no. 28 hadist no. 7369).
Demikianlah sebuah bab yang panjang di dalam shahih Bukhari; dijelaskan di dalamnya kaedah-kaedah penting dalam bermusyawarah. Kemudian Imam Bukhori membawakan dua buah hadist yang berkenaan dengan peristiwa al-ifki dan musyawarah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersama Ali dan Usamah sebelum turun ayat surat An-nur.
Hal tersebut semakin menguatkan kepada kita bahwa:
- Musyawarah itu hanya pada sebagian permasalahan yaitu permasalahan yang tidak terdapat hukumnya dari al-Qur’an dan as-Sunnah. Oleh karena itu Abdullah bin Abbas menafsirkan firman Allah subhana wa ta’ala surat Ali Imran: 159 Dengan mengatakan (yang dimaksud dengan perkara pada ayat itu): yaitu di sebagian perkara!
- Anggota musyawarah adalah para ahli amanah, ahli ilmu dan orang-orang shalih.
Telah diriwayatkan oleh al-Imam Bukhari dalam shahih beliau dari Abdullah bin Abbas; ia berkata: “Telah datang (ke Madinah) Uyainah bin Hishn bin Hudzaifah.Ia datang ke rumah kemanakannya yang bernama al-Hurr bin Qois bin Hishn dan ia tergolong orang-orang yang didekatkan Umar. Dan para Qori ketika itu adalah anggota majelis musyawarah Umar baik yang tua maupun yang muda. (Shahih Bukhari Hadist no. 7286).
Ibnu Hajar Al Asqalani berkata dalam Fathul Bari (13/276) sebagai berikut: “Para Qori yang dimaksud adalah para ulama ahli ibadah.”
Imam al-Baihaqi telah meriwayatkan dari Maimun bin Mihran; ia berkata: “Jika datang sebuah pertengkaran kepada Abu Bakar maka beliau selalu melihat terlebih dahulu kepada Kitabullah. Jika tidak ia dapati dalam Kitabullah maka ia melihat apakah terdapat sunnah Rasulullah pada masalah tersebut. Jika ia mengetahuinya, maka ia memutuskan dengannya. Jika ia tidak juga mengetahui maka ia keluar menemui kaum Muslimin dan bertanya kepada mereka, bahwa telah datang kepadaku masalah begini-begini. Lalu aku memeriksa Kitabullah dan sunnah Rasulullah tapi aku belum dapatkan jawabannya! Apakah kalian mengetahui bahwa Rasulullah telah menerapkan sebuah keputusan dalam masalah tersebut? Terkadang beberapa orang telah mengetahui bahwa Rasulullah telah memutuskan begini-begini, maka Abu Bakarpun mengambil keputusan Rasulullah tersebut.”
Ja’far (salah seorang Rawi) berkata: telah menceritakan kepada saya Maimun bahwa Abu Bakar berkata tatkala itu: “Alhamdulillah yang telah menjadikan beberapa orang di antara kita yang hafal sabda-sabda Rasul kita! Dan jika tidak ada satu orangpun yang hafal, maka beliau memanggil tokoh-tokoh kaum Muslimin dan para ulamanya, lalu bermusyawarah dengan mereka; dan jika mereka bersepakat atas sebuah perkara, maka Abu Bakarpun memutuskan dengannya”. (Riwayat Al-Baihagi dalam Sunan Al-Kubra (10/ 114-115) dengan sanad yang shahih; dishahihkan oleh Ibnu Hajar Al-Asqolani).
Demikian pula Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu mengerjakan. apa yang dilakukan pendahulu beliau yaitu Abu Bakar As-shiddiq.
Diriwiyatkan dari Ja’far; ia berkata: “Maimun telah menceritakan kepadaku. bahwa Umar bin Khattab melakukan hal yang serupa, dan jika ia tidak mampu mendapatkan jawabannya di dalam al-Qur’an dan As-sunnah, maka ia melihat apakah Abu Bakar pernah memutuskan perkara tersebut. Jika ia mendapatkan bahwa Abu Bakar telah memutuskan tentang perkara tersebut dengan sebuah ketetapan, maka ia putuskan dengannya. Jika tidak ada, maka ia memanggil tokoh-tokoh kaurn Muslimin dan ulamanya, lalu bermusyawarah dengan mereka. Dan jika mereka bersepakat atas sebuah perkara, maka Umar memutuskan dengannya“. (Riwayat Al-Baihaqi dalam Sunan al-Kubro 10/114-115).
Di antara dalil yang amat kuat yang menunjukkan bahwa musyawarah tidak melibatkan segenap ummat (hingga harus diadakan pemilihan untuk mengangkat seorang pimpinan -metoda ini sering dilakukan oleh organisasi, yayasan dan lain-lain-), adalah kisah pengangkatan khalifatul Mu’minin Ustman bin Affan radhiyallahu ‘anhu. Tatkala Umar hendak wafat dikatakan kepadanya: “Berikan wasiat wahai Amirul Mu’minin, tunjuklah seorang khalifah pengganti! !”
Umar menjawab: “Aku tidak mendapati yang lebih berhak terhadap perkara ini, kecuali mereka yang Rasulullah ketika wafat dalam keadaan ridha kepada mereka.”
Kemudian Umar men.yebutkan nama-nama sebagai berikut: Ali, Ustman, Az-Zubeir, Thalhah, Sa’ad dan Abdurrahman.” (HR Bukhari; lihat Fathul Bari 13/354).
Sangat jelas sekali bahwa umat yang besar ini diperintah oleh khalifah Ustman melalui musyawarah enam orang saja!
Syubhat dan jawabannya!
Seluruh syubhat-syubhat yang diangkat oleh kebanyakan aktivis Islam atau orang-orang sekuler tidak terlepas dari hal-hal berikut ini.
a. Dalil tersebut adalah dalil yang mujmal (global), yang masih tersamar di dalamnya tentang anggota-anggota musyawarahnya.
b. Dalil tersebut adalah dalil yang lemah (tidak shahih).
c. Pengambilan kesimpulan dari dalil tersebut terlalu serampangan. Di antaranya adalah kisah musyawarah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersama sahabat-sahabat beliau dalam masalah berangkat ke peperangan Badar.
Diriwayatkan dari Anas bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam mengajak bermusyawarah tatkala sampai kepada beliau berita kedatangan Abu Sufyan.
Anas berkata: “Lalu berbicaralah Abu Bakar tapi Rasulullah berpaling darinya. Kemudian berbicaralah Umar, tapi Rasulullah berpaling darinya. Hingga berdirilah Sa’ad bin Ubadah yang berkata: Apakah kami yang anda kehendaki wahai Rasulullah! Demi dzat yang jiwaku berada di Tangan-Nya, seandainya anda perintahkan kami untuk menyeberangi lautan niscaya akan kami seberangi. Seandainya engkau perintahkan kami untuk mengeprak perut kuda-kuda kami supaya sampai ke ujung duniapun akan kami laksanakan. Kemudian Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam mengajak para sahabatnya berangkat. Lalu merekapun berangkat hingga sampai di Badar. (H.R. Muslim).
Tidak ada dalil yang menunjukan bahwa dalam kisah ini Rasulullah bermusyawarah bersama orang banyak/awam. Oleh karena itu Imam Nawawi berkata: “Di dalam hadist ini terdapat faedah yaitu bermusyawarah dengan para sahabat dan ahli ra’ji serta berpengalaman“. (syarh Muslim XII/124).
Anggaplah kisah ini dapat diangkat sebagai alasan bagi sangkaan mereka, akan tetapi para ulama telah menjelaskan di antara sebab-sebab Rasulullah , bermusyawarah dengan orang banyak yaitu:
Sesungguhnya Rasulullah hanya hendak menguji kaum Anshar, sebab Rasulullah tidak membaiat mereka untuk keluar berperang bersama beliau untuk berperang dan mengejar musuh. Akan tetapi hanya membaiat mereka untuk melindungi beliau jika ada yang hendak memerangi beliau. Dan tatkala Rasulullah ; menawarkan kepada mereka untuk berangkat mencegat kafilah Abu Sufyan, Rasulullah menguji mereka guna mengetahui apakah mereka sepakat. Ternyata mereka menyambutnya dengan jawaban yang terbaik. (syarh Muslim XII/124).
Jadi jelaslah bahwa forum tatkala itu adalah forum ujian bukan forum musyawarah.
Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapatlah disimpulkan bahwa :
- Demokrasi adalah produk orang kafir yang awal sejarahnya lahir di Perancis.
- Demokrasi ini tegak di atas 3 asas yaitu: penetapan undang-undang, keputusan serta pelaksanannya.
- Demokrasi bukan musyawarah dan tidak akan mungkin bersatu antara demokrasi dengan musyawarah.
- Tidak boleh bagi seorang Muslim untuk mendukung demokrasi.
- Musyawarah dalam Islam ditegakkan di atas dua hal:
- Musyawarah hanya melibatkan para ahli ilmu dan para tokoh alim ulama dan orang shalih balk di antara mereka maupun mereka dengan penguasa.
- Musyawarah hanya pada permasalahan yang tidak terdapat dalil al-Kitab dan as-Sunnah didalamnya.
- Tidak ada musyawarah jika sudah ada ketetapan yang jelas dan gamblang dari al-Qur’an dan as-Sunnah.
- Musyawarah ditegakkan di atas kaedah ilmu Syar’i sedangkan demokrasi ditegakkan di atas kemauan/kehendak umum dan suara terbanyak.
- Demokrasi dalam bentuk dan model apapun, terbukti tidak mampu menyelesaikan permasalahan ummat manusia, karena ia hanyalah produk akal manusia yang hanya sekedar mencoba dan menduga-duga saja, oleh karena itu hasilnyapun semu.
Demikianlah beberapa hal yang dapat kita simpulkan dalam pembahasan kali ini semoga menjadi pelajaran dan peringatan bagi kita semua.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai hati atau yang mengguna kan pendengarnya sedang ia menyaksikan. (Qaaf: 37)
Pemilu (pemilihan umum) adalah suatu proses di mana para pemilih memilih orang-orang untuk mengisi jabatan-jabatan politik tertentu. Dalam hal ini semua rakyat baik kaya maupun miskin, berpendidikan atau yang tidak berpendidikan di berikan kebebasan untuk memilih pemimpin.