Amalan Berpahala Berlipat Ganda: Shalat Di Dua Tanah Suci

Di antara amalan yang memiliki pahala berlipat ganda adalah memperbanyak shalat di dua tempat suci, yaitu di Masjid al-Haraam dan Masjid Nabawi. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

صَلاَةٌ فِى مَسْجِدِى هَذَا أَفْضَلُ مِنْ أَلْفِ صَلاَةٍ فِيمَا سِوَاهُ إِلاَّ الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ وَصَلاَةٌ فِى الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ أَفْضَلُ مِنْ مِائَةِ أَلْفِ صَلاَةٍ

Shalat di masjidku ini (Masjid Nabawi) lebih baik daripada 1000 shalat di masjid lainnya kecuali di Masjid al-Haraam. Shalat di Masjid al-Haraam lebih baik daripada 100.000 shalat di masjid yang lain.” (Shahih. HR. Ahmad).

Mari kita buat perbandingan…

Jika setiap hari kita membiasakan diri melaksanakan shalat sunnah rawatib di Indonesia, hasilnya setiap tahun jumlah raka’at yang dikerjakan mencapai 12 x 360 = 4.320 raka’at. Namun, shalat 2 raka’at yang dikerjakan di Masjid al-Haraam setara dengan 200 ribu raka’at shalat di masjid lain. Hal ini berarti kita membutuhkan waktu sekitar 46 tahun (200.000 : 4.320 = 46,30) untuk memperoleh pahala shalat 200.000 raka’at di negeri sendiri. Dengan catatan, kita rutin dan sempurna melaksanakan shalat sunnah rawatib tersebut setiap hari.

Perbandingan lain, seandainya kita mengerjakan shalat 10 raka’at di Masjid al-Haraam, di mana waktu yang dibutuhkan tidak lebih dari setengah jam, maka insya Allah bagi kita akan dicatat pahala sebanyak 1.000.000 raka’at shalat yang dikerjakan di negeri sendiri. Padahal butuh waktu selama 46,3 x 5 = 231,5 tahun untuk mengerjakannya.

Oleh karena itu, salah satu karunia yang harus dimanfaatkan dengan baik adalah ketika diberi kelapangan untuk mengadakan perjalanan ke Tanah Suci, hendaknya kesempatan tersebut diisi dengan memperbanyak ibadah terutama shalat mengingat keutamaan yang sangat besar telah disediakan bagi mereka yang mengerjakan.

Adapun kegiatan selain ibadah seperti menghabiskan waktu di pusat-pusat perbelanjaan, wisata religi [?] ke situs-situs bersejarah, yang tidak memiliki keutamaan sebagaimana disebutkan dalam dalil yang valid sebaiknya ditinggalkan sehingga waktu tidak berlalu tanpa makna dan usia berkurang tanpa manfaat.

Wallahu a’lam.

***

Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim, ST.

Artikel Muslim.or.id

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *