Fikih Ringkas Seputar Zakat Fitri

Pengertian

Kata zakat secara bahasa memiliki beberapa arti. Di antaranya: tumbuh, bertambah, berkembang atau sesuatu yang terbaik. (al-Mu’jam al-Wasith). Sedangkan kata fitri (fithr) artinya berbuka puasa.

Gabungan dua kata di atas “zakat fitri” merupakan gabungan yang mengandung makna sebab akibat yang berarti sebab diwajibkannya zakat fitri ini adalah karena kaum muslimin telah selesai menunaikan puasanya di bulan Ramadhan. (al-Mausu’ah al-Fiqhiyah).

Sebagian ulama menamakan zakat ini dengan “zakat fithrah”, di mana kata fithrah berarti asal penciptaan.

Abu al-Haitsam mengatakan: “al-fitrah adalah asal penciptaan, yang menjadi sifat seorang bayi ketika dilahirkan dari ibunya” (al-Mausu’ah al-Fiqhiyah). Dinamakan zakat fitrah karena zakat ini adalah zakat untuk badan dan jiwa sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibn Qutaibah dalam Al Mughni.

Hukum Zakat Fitri

Hukum zakat fitri adalah wajib bagi setiap muslim menurut pendapat yang terkuat. Para ulama yang berpendapat demikian menyatakan kewajiban menunaikan zakat fitri tercakup dalam perintah Allah ta’ala di surat Al Baqarah ayat 43,

وَآتُوا الزَّكَاةَ

Tunaikanlah zakat”.

Adapun dalil dari hadits-hadits nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan hal yang sama.

Abdullah bin Umar radhiallahu anhuma mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami agar menunaikan zakat fitri sebelum kaum muslimin berangkat menuju lapangan untuk melaksanakan shalat ‘id.” (Shahih. HR. Muslim).

Beliau radhiallahu anhuma berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitri dengan satu sha kurma, atau satu sha gandum kepada setiap muslim, baik yang berstatus budak atau merdeka, pria atau wanita, kanak-kanak maupun dewasa” (Shahih. HR. Bukhari).

Beliau juga mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitri, berupa satu sha’ kurma kering atau gandum kering. (kewajiban) ini bagi kaum muslimin, budak maupun orang merdeka, laki-laki maupun wanita, anak kecil maupun orang dewasa. Dan beliau memerintahkan agar ditunaikan sebelum orang-orang berangkat shalat.” (Shahih. HR. Bukhari & Muslim).

Ibnu Abbas radhiallahu anhuma mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitri untuk menyucikan orang yang berpuasa dari perbuatan yang menggugurkan pahala puasa, perbuatan atau ucapan jorok dan sebagai makanan bagi orang miskin. Siapa yang menunaikannya sebelum shalat maka zakatnya diterima. Dan barangsiapa yang menunaikannya setelah shalat hal itu hanya terhitung layaknya sedekah biasa” (Hasan. HR. Abu Daud).

Dalil-dalil di atas menegaskan bahwa hukum zakat fitri adalah wajib.

Hikmah Pensyari’atan Zakat Fitri

Pelaksanaan zakat fitri merupakan bentuk pengejewantahan rasa kasih sayang kepada kaum fakir miskin sehingga mereka tidak perlu mengemis di hari raya. Hal ini bertujuan agar mereka turut merasakan kegembiraan bersama kaum muslimin yang lain dengan datangnya hari raya.

Selain itu, zakat fitri merupakan salah satu sarana untuk melebur berbagai kekeliruan yang dilakukan seorang ketika berpuasa di bulan Ramadhan seperti perbuatan sia-sia dan perkataan yang keji sebagaimana telah disebutkan dalam hadits Ibnu Abbas radhiallahu anhuma sebelumnya.

Pihak yang Wajib Menunaikan

Berdasarkan hadits Ibnu Umar yang telah lalu, kita dapat mengetahui bahwa setiap individu muslim diwajibkan untuk menunaikan zakat fitri, baik ia berstatus sebagai seorang yang merdeka atau budak, pria atau wanita, kanak-kanak maupun dewasa. Seluruhnya tercakup dalam teks hadits tersebut.

Zakat fitri untuk janin

Sebagian ulama menganjurkan dan bahkan mewajibkan untuk menunaikan zakat fitri atas janin yang tengah dikandung seorang wanita berdasarkan perbuatan sahabat Utsman bin Affan radhiallahu anhu. Diantara mereka adalah imam Ahmad bin Hambal rahimahullah di mana beliau mengatakan, “Ditunaikan zakat fitri untuk janin yang masih di kandungan jika telah jelas status kehamilannya” (Masaail Imam Ahmad).

Namun, pendapat terkuat terkait kewajiban terkait zakat fitri atas janin yang tengah dikandung adalah pendapat yang menyatakan hal tersebut tidaklah wajib selama janin tersebut belum lahir hingga hari raya berlangsung. Alasan bagi pendapat ini adalah :

Pertama, riwayat yang menyatakan Utsman radhiallahu anhu menunaikan zakat fitri bagi janin adalah riwayat yang lemah karena sanadnya munqathi’. Riwayat ini berasal dari jalur Humaid bin Bakr dan Qotadah dari Utsman bin Affan. Dan terjadi keterputusan sanad antara Humaid dan Qotadah dengan Khalifah Utsman bin Affan. Demikian yang dijelaskan oleh Syaikh al-Albani dalam Al Irwa’.

Kedua, zakat fitri hukumnya wajib disebabkan adanya waktu fitri, yaitu terbenamnya matahari di hari terakhir bulan Ramadhan. Sedangkan orang yang masih dalam kandungan tidaklah tercakup dalam kewajiban ini mengingat “keberadaannya” sebagai mukallaf pada waktu tersebut belum terjadi.

Syarat Penunaian Zakat Fitri

Berangkat dari hadits-hadits yang telah disebutkan sebelumnya, para ulama memberi dua persyaratan yang apabila terpenuhi zakat fitri wajib untuk ditunaikan. Persyaratan tersebut adalah sebagai berikut:

Syarat pertama, beragama Islam.

Hal ini dikarenakan zakat fitri adalah bentuk peribadatan kepada Allah dan berfungsi membersihkan orang yang telah berpuasa dari noda-noda dosa yang dilakukan selama berpuasa. Hal ini tidak mungkin dilakukan oleh orang kafir karena semua ibadah mereka tidak akan diterima, di samping itu mereka juga tidak berpuasa.

Ibnu Qudamah mengatakan, “Zakat fitri tidak wajib bagi orang kafir, baik merdeka maupun budak. Kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat di antara ulama tentang tidak wajibnya zakat untuk orang kafir merdeka dan baligh” (Al Mughni).

Syarat kedua, mampu untuk menunaikan.

Ulama berselisih pendapat tentang standar dalam memberikan tolok ukur “mampu” dalam penunaian zakat fitri. Insya Allah pendapat terkuat dalam masalah ini adalah pendapat yang dikemukakan oleh mayoritas ulama (Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah). Mereka menetapkan bahwa selama seseorang memiliki kelebihan makanan pokok untuk diri dan keluarganya di malam dan di hari raya, maka dia dinilai mampu dan dengan itu berkewajiban untuk menunaikan zakat fitri (al-Minhaj).

Hal ini dikarenakan kondisi orang tersebut dapat dianggap sebagai orang yang berkecukupan sebagaimana sabda nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang meminta-minta sementara dia memiliki sesuatu yang mencukupi maka dia telah memperbanyak api neraka yang akan membakar dirinya.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apa ukuran sesuatu yang mencukupi (sehingga tidak boleh meminta-minta)?” Beliau menjawab,Ukuran kecukupan adalah dia memiliki sesuatu yang mampu mengeyangkan (diri & keluarga) selama sehari-semalam.” (Shahih. HR. Abu Daud).

Imam Ahmad pernah ditanya, “Bilamana seseorang itu wajib mengeluarkan zakat fitri?Beliau rahimahullah menjawab, “Jika seseorang memiliki kelebihan makanan untuk satu hari maka wajib menunaikan zakat fitri.” (alMasail Ishaq an-Naisaburi).

Ibn Qudamah mengatakan, “Zakat fitri tidaklah wajib kecuali telah terpenuhi dua syarat. Salah satunya adalah seseorang memiliki sisa makanan untuk diri dan keluarga pada malam dan siang hari raya sebanyak satu sha’. Hal ini dikarenakan nafkah untuk pribadi itu lebih penting, sehingga wajib untuk didahulukan berdasarkan sabda nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Mulailah menafkahi dirimu dan orang yang berada dalam tanggunganmu.” (al-Kaafi).

Pihak yang Menerima Zakat Fitri

Pihak yang menerima zakat fitri telah ditentukan berdasarkan hadits Abdullah bin Abbas radhiallahu anhuma sebelumnya, di mana nabi shallallahu ’alaihi wa sallam menyatakan bahwa zakat fitri berfungsi untuk memberi makan kepada kaum miskin. Hadis ini merupakan penegasan bahwa orang yang berhak menerima zakat fitri adalah golongan fakir dan miskin.

Adapun 6 golongan penerima zakat sebagaimana yang tercantum dalam surat at-Taubah ayat 60 tidaklah tercakup dalam golongan yang berhak menerima zakat fitri. Meski hal ini bertentangan dengan pendapat mayoritas ulama, namun pendapat inilah yang bersesuaian dengan dalil-dalil yang ada. Ibnu al-Qayim rahimahullah mengatakan, “Tuntunan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (dalam pelaksanaan zakat fitri) adalah menyerahkan zakat fitri hanya kepada orang-orang miskin dan tidak membaginya kepada setiap golongan (yang tertera dalam firman Allah di surat at-Taubah ayat 60).

Beliau tidak memerintahkan hal itu dan tidak pernah dilakukan oleh seorang sahabat pun, begitupula para ulama sesudah mereka. Bahkan, salah satu pendapat dalam madzhab kami (Hanabilah), zakat fitri khusus diserahkan kepada orang-orang miskin. Pendapat ini lebih tepat daripada pendapat yang menyatakan wajib membagikan zakat fitri kepada seluruh golongan yang tercantum dalam surat at-Taubah”. (Zaad al-Ma’ad).

Lokasi Penunaian Zakat Fitri

Zakat fitri dianjurkan untuk ditunaikan di tempat wajib zakat berada ketika hari raya. Namun, bagi mereka yang ingin menunaikan zakat fitri di luar domisili wajib zakat diperbolehkan untuk melakukannya. Syahnun bertanya kepada Ibnu al-Qasim, “Apa pendapat imam Malik perihal orang Afrika yang tinggal di Mesir pada saat hari raya, di mana zakat fitrinya ditunaikan? Ibnu al-Qasim menjawab, “Imam Malik mengatakan, “Zakat fitri ditunaikan di mana dia berada, jika keluarganya yang di Afrika membayarkan zakat fitri untuknya, hukumnya boleh dan sah” (al-Mudawwanah).

Syaikh Muhammad bin Sholeh al-Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Kita mesti memahami kaidah bahwa zakat fitri itu mengikuti badan, yaitu badan wajib zakat. Sedangkan zakat harta mengikuti harta tersebut berada. Berdasarkan hal ini maka orang yang berada di Mekkah, zakat fitrinya ditunaikan di Mekkah, sedangkan keluarganya yang tinggal di luar Mekkah, zakat fitrinya ditunaikan di tempat mereka masing-masing.” (Majmu’ al-Fatawa).

Kapan Kewajiban Zakat Fitri Dimulai?

Telah disebutkan di awal bahwa zakat ini disebut zakat fitri karena adanya sebab, yaitu zakat ini disyariatkan karena adanya al-fithr, yaitu waktu berbuka setelah sebelumnya seorang muslim berpuasa selama sebulan. Sehingga zakat ini diwajibkan ketika ada waktu fitri. Mereka yang menjumpai waktu tersebut berkewajiban menunaikan zakat fitri. Sebaliknya, mereka yang tidak menjumpainya tidak berkewajiban menunaikan.

Terkait batas awal dimulainya waktu fitri, para ulama berselisih pendapat. Namun, pendapat terkuat adalah pendapat yang menyatakan bahwa waktu fitri dimulai sejak terbenamnya matahari pada puasa terakhir bulan Ramadhan. Hal ini dikarenakan pada momen tersebutlah setiap muslim memulai berbuka dan mengakhiri puasa Ramadhan yang dilakukannya. Berdasarkan hal tersebut, mereka yang menjumpai waktu ketika matahari terbenam di hari terakhir bulan Ramadhan berkewajiban untuk menunaikan zakat fitri. Contoh akan hal ini adalah sebagai berikut:

Contoh pertama

Bayi yang dilahirkan beberapa saat sebelum matahari terbenam di hari terakhir bulan Ramadhan maka wajib dizakati oleh orang tua. Hal ini dikarenakan bayi tersebut telah menjumpai waktu fitri. Sebaliknya, jika dilahirkan beberapa saat setelah matahari terbenam di hari tersebut maka tidak wajib untuk dizakati karena bayi ini lahir dan tidak menjumpai waktu fitri. Alasan ini pula yang mendasari mengapa janin yang berada dalam kandungan tidak perlu dizakati.

Contoh kedua

Orang yang meninggal beberapa saat setelah matahari terbenam di hari terakhir bulan Ramadhan berkewajiban ditunaikan zakatnya karena dia menjumpai waktu fitri. Sebaliknya, jika dia meninggal beberapa saat sebelum matahari terbenam maka tidak wajib dizakati karena idak berjumpa dengan waktu fitri. (al-Minhaj).

Batas Akhir Penunaian Zakat Fitri

Dari hadits Ibnu Abbas dan Ibnu Umar radhiallahu anhum sebelumnya dapat diketahui bahwa zakat fitri wajib ditunaikan sebelum shalat hari raya dilaksanakan. Adapun seorang yang menunda pelaksanaan zakat fitri hingga shalat ‘id selesai dilaksanakan, menurut pendapat yang lebih kuat kewajiban tersebut tidaklah gugur sampai ditunaikan. Dia berkewajiban menunaikan zakat fitri meski telah keluar batas waktu dan bertaubat kepada Allah karena di dalam zakat fitri terdapat hak untuk manusia (fakir miskin) dan ada hak untuk Allah. Hak untuk manusia (fakir miskin) tidak bisa gugur sampai zakat ini diberikan kepada mereka. Sedangkan terkait hak Allah kewajiban orang tersebut untuk bertaubat dan menyesali perbuatannya. Dengan melakukan keduanya (membayar zakat dan bertaubat) berarti dia telah memenuhi hak Allah dan hak manusia. Namun, apa yang telah dia tunaikan tidak dianggap sebagai zakat fitri namun statusnya adalah sedekah biasa sebagaimana disebutkan dalam hadits Ibnu Abbas radhiallahu anhuma.

Membayar Zakat Fitri Lebih Awal

Sebelumnya telah dijelaskan bahwa penunaian zakat fitri disebabkan adanya waktu fitri, yaitu berbukanya kaum muslimin setelah sebulan penuh melaksanakan puasa. Pelaksanaan ibadah yang terkait dengan sebab tertentu dimulai ketika sebab tersebut telah muncul. Sebagaimana shalat wajib yang baru dapat dilaksanakan ketika telah masuk waktunya. Dengan demikian, pada asalnya tidak boleh menunaikan zakat fitri sebelum datangnya waktu fitri kecuali terdapat dalil lain yang mengindikasikan adanya pengecualian.

Dalam kaitannya dengan hukum mendahulukan penunaian zakat fitri sebelum masuk waktu fitri terdapat beberapa riwayat yang menjelaskan akan bolehnya menunaikan zakat fitri sebelum waktu fitri tiba. Di antaranya adalah sebagai berikut:

Riwayat pertama

Riwayat dari Ibnu Umar radhiallahu anhuma di mana Nafi’ -seorang tabi’in- rahimahullah mengatakan bahwa Ibnu Umar radhiallahu anhuma memberikan zakat fitri kepada panitia zakat dan mereka mendistribusikannya sehari atau dua hari sebelum hari raya (Shahih. HR. Bukhari). Dalam riwayat yang lain disebutkan Ibnu Umar menyerahkan zakat fitri kepada panitia zakat dua atau tiga hari sebelum hari raya (Shahih. HR. Malik dalam al-Muwaththa).

Riwayat Kedua

Kisah Abu Hurairah radhiallahu anhu yang diamanahi oleh rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menjaga zakat Ramadhan (zakat fitri). Dalam kisah tersebut sahabat Abu Hurairah diganggu oleh jin/setan yang mencuri kurma dan ditangkap oleh Abu Hurairah namun kemudian dilepaskan oleh beliau. Kejadian ini terulang selama 3 malam (Shahih. HR. Bukhari).

Beberapa riwayat di atas menjadi dalil akan kebolehan menyegarakan penunaian zakat fitri. namun, para ulama berbeda pendapat mengenai permulaan waktu zakat fitri dapat disegerakan penunaiannya. Pendapat terkuat dalam hal ini adalah yang sesuai dengan riwayat-riwayat di atas, yaitu boleh menyegerakan zakat fitri maksimal 3 hari sebelum hari raya dengan memperhatikan beberapa hal berikut:

Pertama

Zakat fitri yang disegerakan penunaiannya diserahkan kepada panitia zakat untuk kemudian didistribusikan oleh mereka pada waktunya, yaitu pada waktu fitri.

Kedua

Pendistribusian zakat fitri kepada fakir miskin, baik dilakukan yang dilakukan oleh wajib zakat ataupun panitia zakat dapat dilakukan sehari atau dua hari sebelum hari raya. Namun, yang paling utama menurut keterangan para ulama pendistribusian zakat fitri dilakukan pada pagi hari sebelum pelaksanaan shalat ‘id. Hal ini sesuai dengan hadits Ibnu Umar yang telah disebutkan sebelumnya.

Ketiga

Apabila wajib zakat mendistribusikan zakat fitri langsung kepada fakir miskin sebelum waktu yang disebutkan di atas -mengingat terdapat keterangan para ulama yang memiliki pendapat lain dalam hal ini-, maka terdapat beberapa kondisi:

  1. Jika masih terdapat waktu sebelum pelaksanaan shalat ‘id, sebaiknya wajib zakat mengulangi penunaian zakat fitri;
  2. Jika tidak terdapat waktu lagi, maka tidak perlu untuk diulangi. Contohnya, seorang yang mendistribusikan zakat fitri kepada fakir miskin pada tanggal 20 Ramadhan 1436 H. Kemudian pada pertengahan bulan Syawal dia menyadari bahwa dirinya menunaikan zakat fitri sebelum waktu yang ditetapkan. Maka pada kondisi ini dia tidak perlu mengulangi untuk membayar zakat fitri. Namun, jika dirinya mengetahui dan menyadari akan kekeliruan tersebut sebelum pelaksanaan shalat ‘id, maka orang tersebut berkewajiban mengulangi pembayaran zakat fitri. Wallahu ta’ala a’lam.

Objek dan Kadar Zakat Fitri

Objek zakat fitri telah ditentukan dalam hadits Abu Sa’id Al Khudri radhiallahu anhu, beliau mengatakan, “Kami menunaikan zakat fitri dengan satu sha makanan, satu sha gandum, satu sha kurma, satu sha keju atau satu sha kismis” (Shahih. HR. Bukhari dan Muslim).

Namun para ulama berselisih pendapat, apakah objek zakat hanya terbatas pada kelima objek yang tertera dalam hadits ataukah bisa selainnya?

Pendapat yang tepat adalah pendapat imam Malik, asy-Syafi’i dan salah satu riwayat dari imam Ahmad rahimahumullah jami’an yang menyatakan bahwa segala biji-bijian atau buah-buahan yang merupakan makanan pokok di suatu negeri dapat dijadikan objek zakat fitri. Pendapat serupa juga dipilih oleh an-Nawawi rahimahullah dalam al-Minhaj. Pendapat ini sejalan dengan hadits Abu Sa’id al Khudri di mana beliau berkata, “Kami mengeluarkan zakat fitri pada zaman rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari raya dengan satu sha makanan”. Beliau melanjutkan, “Dan makanan pokok kami (di Madinah) adalah gandum, kismis, keju dan kurma” (Shahih. HR. Bukhari).

Ibnu al-Qayim rahimahullah mengatakan,(Kelima jenis makanan yang tercantum dalam hadits Abu Sa’id) merupakan mayoritas bahan makanan pokok di kota Madinah. Jika makanan pokok di suatu negeri selain lima jenis tersebut, maka penduduknya wajib mengeluarkan zakat fitri sebanyak satu sha dari makanan pokok mereka seperti biji-bijian, beras, buah tin atau biji-bijian selainnya. Jika makanan pokok mereka berupa non biji-bijian seperti susu, daging, atau ikan, maka mereka membayar zakat fitri dengan makanan pokok tersebut apapun bentuknya. Pendapat ini merupakan pendapat mayoritas ulama dan merupakan pendapat yang tepat, bukan selainnya, sebab (pelaksanaan zakat fitri bertujuan) memenuhi kebutuhan orang-orang miskin pada hari raya dan memberi kesempatan kepada mereka untuk turut mencicipi makanan pokok yang dikonsumsi oleh penduduk negeri tesebut” (I’laam al-Muwaqqi’in).

Adapun kadar zakat fitri yang wajib dikeluarkan adalah sebanyak satu sha, yaitu sekitar 3 kilogram. Ukuran tersebut merupakan bentuk kehati-hatian, karena terdapat perbedaan pendapat dalam menentukan berat satu sha nabawi.

Demikianlah beberapa permasalahan ringkat terkait hukum-hukum zakat fitri yang dapat disampaikan. Besar harapan kami apa yang telah kami sampaikan bermanfaat bagi diri kami pribadi dan kaum muslimin.

Wa shallallahu ‘alaa nabiyyina Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahbihi ajma’in. Wa aakhiru da’wanaa anil hamdu lillaahi rabbil ‘aalaamiin.

***

Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim

Artikel Muslim.or.id

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *