Fudhail Bin Iyadh Dari Perampok Jalanan Menjadi Seorang Ulama

Fudhail bin Iyadh,

Dari Perampok Jalanan Menjadi Seorang Ulama

Dahulu, Fudhail bin Iyadh biasa merampok di jalan seorang diri. Suatu malam ia berniat untuk merampok. Benar, ia bertemu dengan satu kafilah yang pulang kemalaman. Di antara sesama pedagang dalam kafilah itu berkata, “Sebaiknya kita menginap di desa ini saja, karena di depan sana ada seorang perampok, orang biasa dipanggil Al-Fudhail.”

Seketika itu Fudhail mendengar pembicaraan mereka, maka gemetarlah ia. Lalu Fudhail berkata, “Wahai rombongan pedagang, aku inilah yang bernama Fudhail, silahkan Anda semua meneruskan perjalanan. Demi Allah, sejak saat ini aku berniat tidak akan lagi berbuat maksiat kepada Allah.” Lalu Fudhail kembali ke rumah urung melaksanakan niat jahatnya.

Menurut riwayat lain, pada malam itu serombongan tamu bermalam di rumah Fudhail. Sementara Fudhail berkata, “Sekarang kalian aman dari gangguan Fudhail.” Bahkan malam itu Fudhail berkali kali menemui mereka menghidangkan makanan. Tiba-tiba Fudhail mendengar seseorang membaca ayat:

أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ آمَنُوا أَنْ تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللَّهِ

Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman untuk tunduk hati mereka mengingat Allah.” (QS. Al-Hadid: 16)

Fudhail menjawab, “Benar, telah tiba waktunya.” Semenjak itulah dia bertaubat.

Abu Muslim Al Khaulani

Do’anya tek ternah tertolak

Diriwayatkan dari Atha’ ia berkata bahwa Abu Muslim al-Khaulani apabila ia pulang ke rumah dari masjid, ia bertakbir di depan pintu rumahnya, lalu isterinya pun bertakbir. Jika ia berada di halaman rumahnya ia bertakbir pula, maka isterinya pun menjawab takbirnya.

Pada suatu malam ia bepergian kemudian setibanya di rumah ia bertakbir, namun tidak seorang pun yang menjawab. Biasanya apabila ia masuk ke rumah, isterinya segera mengambilkan sorban dan sandal kemudian menghidangkan makanan untuk beliau.

Setelah ia masuk rumah, ternyata ruangan gelap, tidak ada lampu di dalamnya. Sementara itu ia temukan isterinya sedang duduk termenung di dalam rumah, menundukkan kepala sambil memainkan sebatang kayu lalu Abu Muslim bertanya, “Ada apa denganmu?”

Isterinya menjawab, “Engkau memiliki kedudukan di sisi Mu’awiyah namun kita tidak memiliki pembantu, kalau saja engkau mau meminta pembantu kepadanya, tentu beliau akan membantu kita dan pasti memberi.”

Abu Muslim menimpali, “Ya Allah siapa saja yang telah merusak isteriku maka butakanlah matanya.”

Sebelumnya, ada seorang wanita mendatangi isteri Abu Muslim, ia sempat berkata, “Suamimu mempunyai posisi menguntungkan di mata Mu’awiyah, alangkah bahagianya kamu sekiranya kamu berbicara kepada suami agar dia meminta seorang pembantu kepada Mu’awiyah, pasti ia akan memenuhi permintaanmu.”

Ketika wanita (penghasut) tadi sedang duduk di rumahnya, tiba-tiba ia tidak bisa melihat. Ia bertanya, “Mengapa lampu kalian padam?” Orang-orang menjawab, “Tidak!” Maka sadarlah ia akan dosanya.

Kemudian ia menemui Abu Muslim sambil menangis, ia mohon agar Abu Muslim berkenan untuk berdoa kepada Allah demi kesembuhan matanya. Abu Muslim pun merasa kasihan kepadanya, lalu beliau mendoakan untuk kesembuhannya dan Allah mengembalikan penglihatannya.

Abdullah bin Jahsy

Berdoa Agar Telinga dan Hidungnya Putus di medan jihad

Ath-Thabrani meriwayatkan dari Sa’ad bin Abi Waqash radhiallahu ‘anhu, bahwasanya Abdullah bin Jahsy radhiallahu ‘anhu pada Perang Uhud berkata, “Mengapa kamu tidak berdoa kepada Allah?” Kemudian ia pergi ke suatu pojok. Ia memanggil Sa’ad lalu Sa’ad pun berdoa, “Ya Rabbi, Sekiranya aku dipertemukan dengan musuh, maka pertemukanlah aku dengan musuh yang berpostur besar, pemberani dan penuh emosi, aku akan memerangi dia sebagaimana dia memerangiku. Kemudian Ya Rabbi, berilah aku kemenangan dengan mampu membunuhnya lalu aku mengambil rampasannya.”

Abdullah bin Jahsy mengamini lalu dia pun memanjatkan doa, “Ya Allah, pertemukanlah aku dengan musuh yang kuat dan pemberani sehingga aku akan membunuhnya di jalan-Mu dan dia juga memberikan perlawanan kepadaku, kemudian ia berhasil menguasaiku dengan menebas hidung dan telingaku. Sehingga kelak, ketika aku datang menghadap-Mu, Engkau akan bertanya kepadaku, ‘Siapa yang menebas hidung dan telingamu ini?’ Maka ketika itu aku akan menjawab, ‘Semua ini aku lakukan di jalan-Mu dan karena rasul-Mu semata.’ Dan Engkau akan membenarkan ucapanku.”

Sa’ad berkata, “Wahai anakku, Doa Abdullah bin Jahsy lebih bagus daripada doaku. Pada siang hari peperangan itu, aku benar-benar melihatnya terbunuh sementara hidung dan telinganya tergantung pada seutas tali.”

Syaiban Ar-Ra’i

Mengelus Telinga seekor Singa

Sufyan Ats-Tsauri berkata, “Pada waktu itu, aku pergi berhaji bersama Syaiban Ar-Ra’i. Dan ketika kami sampai di sebuah jalan tiba-tiba kami berpapasan dengan seekor singa. Aku berkata kepada Syaiban, “Tidakkah kamu melihat binatang buas ini? Dia telah menghadang kita!’

Syaiban menjawabku, ‘Jangan takut, wahai Sufyan!’ Lalu, ia memanggil singa itu dan memegang ekornya. Kemudian, singa itu menggerak-gerakkan ekornya seperti anjing. Syaiban memegang telinga singa tersebut lalu mengelus-elusnya.

Seketika itu aku berkata, ‘Untuk apa kamu pamer semacam ini?’ Ia menjawab, ‘Wahai Sufyan, pamer mana yang kamu pertanyakan? Kalau bukan karena aku benci pamer, tentu aku tidak akan membawa bekal perjalananku ini ke Mekkah kecuali di atas punggung singa ini.”

AMIR BIN ABDI QAIS

Ular Melewati Lengan Bajunya Saat Shalat

Terdapat suatu riwayat bahwa Amir bin Abdi Qais senantiasa Qiyamullail dan berpuasa pada siang harinya. Seringkali iblis melintasi tempat ia bersujud menyerupai seekor ular. Jika ia tidak menemukan baunya maka ia singkirkan dengan tangannya lalu berkata, “Kalau bukan karena kebusukanmu pasti aku selalu bersujud.”

Alqamah bin Mursyid berkata, “Aku melihat seekor ular masuk lewat gamis bagian bawahnya ketika beliau shalat lalu keluar melalui lengan bajunya, namun beliau tidak terusik sedikit pun!”

Ada seseorang yang bertanya kepadanya, “Mengapa tidak engkau singkirkan ular itu?”

Amir menjawab, “Demi Allah, aku benar-benar malu di hadapan Allah sekiranya aku takut kepada selain Allah. Dan demi Allah, aku tidak melihat ular itu ketika ia masuk maupun keluar.”

Seseorang berkomentar, “Surga itu dapat dicapai tanpa harus dengan cara yang kau lakukan!”

Amir menjawab, “Aku tidak akan melepaskan kebiasaanku agar aku tidak mencela diriku.”

Seseorang berkata bahwa suatu saat beliau sakit, kemudian menangis.

Ada yang bertanya, “Apa yang membuat kamu menangis, padahal kamu sudah seperti itu (ahli ibadah)?”

Amir menjawab, “Siapakah yang lebih berhak menangis selain aku? Padahal aku tahu perjalananku masih sangat jauh sementara bekal yang aku bawa sangat sedikit? Aku berada dalam perjalanan yang penuh pendakian dan jalan menurun, apakah perjalananku ini menuju Surga atau Neraka, sama sekali aku tidak tahu ke manakah tempat kembaliku kelak.” 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *