Muqaddimah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memperingatkan umatnya akan fitnah harta yang akan menimpa mereka. Bukanlah kefakiran yang beliau takutkan, namun sebaliknya beliau justru khawatir jika fitnah harta duniawi menimpa umatnya sehingga melalaikan mereka dari urusan akhirat.
Tengoklah peringatan beliau tatkala mengucapkan,
ليأتين على الناس زمان لا يبالي المرء بما أخذ المال أمِن الحلال أم مِنَ الحرام
“Akan datang suatu zaman di mana manusia tidak lagi peduli darimana mereka mendapatkan harta, apakah dari usaha yang halal atau haram.” (HR. Bukhari –Al Fath 4/296 nomor 2059; 4/313 nomor 2083)
Ibnu At Tiin mengatakan, “Sabda beliau ini merupakan peringatan terhadap fitnah harta sekaligus salah satu bukti kenabian beliau, karena memberitakan sesuatu yang tidak terjadi di masa beliau. Segi celaan dari hadits ini adalah penyamaan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap dua perkara (yaitu perkara halal dan haram -pen), jika tidak demikian, tentunya memperoleh harta dari jalan yang halal tidaklah tercela. Wallahu a’lam.” (Fathul Baari 6/362)
Kenyataan pun membenarkan apa yang beliau sabdakan di atas, bukankah tidak sedikit kaum muslimin yang terfitnah dengan harta sehingga melegalkan segala cara demi mendapatkan kenikmatan duniawi yang mereka inginkan. Salah satu bukti adalah maraknya praktek ribawi yang dilakukan oleh komunitas muslim, lagi-lagi alasannya berujung pangkal pada ketamakan terhadap dunia.
Permasalahan riba inilah yang akan kita bahas pada kesempatan kali ini. Hal ini mengingat betapa pentingnya masalah ini. Kaum muslimin perlu mengetahui hakikat riba serta keburukan yang terkandung di dalamnya sehingga dapat membentengi dan tidak menjerumuskan diri ke dalam berbagai transaksi ribawi. Risalah ini juga merupakan penjelasan dan peringatan bagi mereka yang telah bergelut dan pernah berinteraksi dengan riba agar segera menyadari kesalahannya, bertaubat dan “mencuci tangan” dari transaksi ribawi.
Definisi Riba
Secara etimologi riba berarti tambahan, baik yang terdapat pada sesuatu atau tambahan tersebut sebagai ganti terhadap sesuatu tersebut, seperti menukar satu dirham dengan dua dirham. Lafadz ini juga digunakan atas segala bentuk jual beli yang diharamkan (Syarh An Nawawi ‘alaa Shahih Muslim 11/8, Fathul Baari 4/312)
Adapun secara terminologi, riba berarti adanya tambahan dalam suatu barang yang khusus dan istilah ini digunakan pada dua bentuk riba, yaitu riba fadl dan riba nasiah (Lihat Al Mughni 6/52, Fathul Qadir 1/294; dinukil dari Ar Ribaa Adraruhu wa Atsaruhu fii Dlauil Kitabi was Sunnah). Al Ustadz Aunur Rofiq Ghufron mengatakan, “Maksud tambahan secara khusus,ialah tambahan yang diharamkan oleh syari’at Islam, baik diperoleh dengan cara penjualan, atau penukaran atau peminjaman yang berkenaan dengan benda riba.” (Majalah As Sunnah edisi 3 tahun VII)
Dalil-dalil yang Mengharamkan Riba
Riba haram berdasarkan al-Qur’an, sunnah, ijma’ dan qiyas. Bahkan seluruh agama samawi selain Islam pun mengharamkannya.
Disebutkan dalam kitab Perjanjian Lama, “Jika engkau meminjamkan harta kepada salah seorang dari kalangan bangsaku, janganlah engkau bersikap seperti rentenir dan janganlah engkau mengambil keuntungan dari piutangmu.” (Safarul Khuruj pasal 22 ayat 25; dinukil dari Fiqhus Sunnah 3/130)
Masih dalam kitab yang sama disebutkan, “Apabila saudara kalian sedang kesulitan, maka bantulah ia. Janganlah dirimu mengambil keuntungan dan manfaat darinya.” (Safarul Khuruj pasal 25 ayat 35; dinukil dari Fiqhus Sunnah 3/130)
Dalam Perjanjian Baru disebutkan, “Jika kalian memberikan pinjaman kepada orang yang kalian harapkan imbalan darinya, maka keutamaan apakah yang akan kalian peroleh? Lakukanlah kebajikan dan berilah pinjaman tanpa mengharapkan adanya imbalan sehingga kalian memperoleh pahala yang besar.” (Injil Lukas pasal 6 ayat 34-35; dinukil dari Fiqhus Sunnah 3/131)
Bahkan para ahli agama mereka telah sepakat akan keharaman riba,
Sakubar mengatakan, “Sesungguhnya orang yang mengatakan riba tidak termasuk kemaksiatan, maka dia termasuk kafir dan keluar dari agama.”
Di kesempatan lain Pastur Buni mengatakan, “Sesungguhnya orang-orang yang melakukan transaksi ribawi tidak memiliki kehormatan di dunia dan mereka tidak layak dikafani ketika mereka mati.” (Fiqhus Sunnah 3/131-132)
Demikianlah perkataan kaum kuffar yang menyatakan akan keharaman riba.
Adapun islam, maka agama yang mulia ini melarangnya dengan berdasarkan dalil-dalil dari al-Qur’an, sunnah, ijma dan qiyas.
Dalil dari al-Qur’an, Allah ta’ala berfirman,
وَحَرَّمَ الرِّبَا
“Dan Allah telah mengharamkan riba.” (Qs. Al Baqarah: 275)
Dalil dari As-Sunnah:
لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّبَا وَمُؤْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pemakan riba, orang yang memberi makan dengan riba, juru tulis transaksi riba dan dua orang saksinya. Kedudukan mereka itu semuanya sama.” (HR. Muslim nomor 2995)
Kaum muslimin pun telah sepakat untuk mengharamkannya dan meyakini bahwa hal tersebut termasuk dosa besar.
Di sisi lain, riba merupakan salah satu bentuk kezhaliman sedangkan keadilan yang terkandung dalam syari’at yang adil tentunya mengharamkan kezhaliman (Taudhihul Ahkam 4/367)
Jika ada yang mengatakan, “Bagaimana bisa transaksi ribawi dikatakan sebagai bentuk kezhaliman padahal mereka yang berhutang, ridha terhadap bentuk muamalah ini?”
Maka jawabannya adalah sebagai berikut:
Pertama, sesungguhnya bentuk kezhaliman dalam bentuk muamalah ribawi sangat nyata, yaitu mengambil harta milik orang lain secara batil. (Karena) sesungguhnya kewajiban bagi orang yang menghutangi adalah memberikan kelonggaran dan tambahan waktu bagi pihak yang berhutang tatkala kesulitan untuk melunasi hutangnya (sebagaimana firman Allah dalam surat al Baqarah ayat 280-pen). Apabila terdapat tambahan dalam transaksi tersebut lalu diambil, maka hal ini merupakan salah satu bentuk tindakan mengambil harta orang lain tanpa hak. Yang patut diperhatikan pula, bahwa seluruh hamba di bawah aturan yang telah ditetapkan Allah, mereka tidak boleh ridha terhadap sesuatu yang tidak diridhai oleh Allah. Oleh karenanya, ridha dari pihak yang berhutang terhadap transaksi ribawi tidak dapat dijadikan alasan untuk melegalkan praktek ribawi.
Kedua, jika ditilik lebih jauh, sebenarnya pihak yang berhutang tidak ridla terhadap transaksi tersebut sehingga statusnya layaknya orang yang tengah dipaksa, karena dirinya takut kepada pihak yang menghutangi apabila tidak menuruti dan mengikuti bentuk mu’amalah ini, mereka akan memenjarakan dan melukai dirinya atau menghalanginya dari bentuk mu’amalah yang lain. Maka secara lisan (dirinya) menyatakan ridla, namun sebenarnya dirinya tidaklah ridla, karena seorang yang berakal tentunya tidak akan ridla hutangnya dinaikkan tanpa ada manfaat yang dia peroleh (Fiqh wa Fatawal Buyu’ hal. 10 dengan beberapa penyesuaian)
Dampak Negatif Riba
Selayaknya bagi seorang muslim untuk taat dan patuh tatkala Allah dan rasul-Nya melarang manusia dari sesuatu. Bukanlah sifat seorang muslim, tatkala berhadapan dengan larangan Rabb-nya atau rasul-Nya dirinya malah berpaling dan memilih untuk menuruti apa yang diinginkan oleh nafsunya.
Tidak diragukan lagi bahwasanya riba memiliki bahaya yang sangat besar dan dampak yang sangat merugikan sekaligus sulit untuk dilenyapkan. Tentunya tatkala Islam memerintahkan umatnya untuk menjauhi riba pastilah disana terkandung suatu hikmah, sebab dinul Islam tidaklah memerintahkan manusia untuk melakukan sesuatu melainkan disana terkandung sesuatu yang dapat menghantarkannya kepada kebahagiaan di dunia dan akhirat. Demikian pula sebaliknya, bila syari’at ini melarang akan sesuatu, tentulah sesuatu tersebut mengandung kerusakan dan berbagai keburukan yang dapat menghantarkan manusia kepada kerugian di dunia dan akhirat.
Dalam permasalahan riba ini pun tidak jauh berbeda, cukuplah nash-nash yang telah lewat menggambarkan keburukan riba. Namun, tatkala kesadaran mulai melemah dan rendahnya keinginan untuk merenungi nash-nash syar’i telah menyebar di kalangan kaum muslimin, perlu kiranya menjelaskan berbagai keburukan dan dampak negatif yang dihasilkan oleh berbagai transaksi ribawi.
Baca pembahasan selanjutnya: Riba dan Dampaknya (Bag. 2)
***
Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim
Artikel www.muslim.or.id