Serial Fiqh Zakat (Bag. 4): Syarat Wajib Zakat (1)

Baca pembahasan sebelumnya Serial Fiqh Zakat (Bag. 3): Hukuman bagi Orang yang Tidak Menunaikan Zakat

Syarat yang berkaitan dengan pemberi zakat (muzakki)

Islam

Zakat diwajibkan kepada setiap muslim.

Dalil dari al-Qur’an

خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka.” [QS. at-Taubah: 103]

Seruan (khithab) dalam perintah berzakat pada ayat di atas ditujukan kepada kaum muslimin, karena merekalah yang akan dibersihkan dan disucikan dengan mengeluarkan zakat. [Al-Muhalla, 4: 4; al-Jaami’ li Ahkaam al-Qur’an, 8: 124]

Dalil dari as-Sunnah

Dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma, 

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَ مُعَاذًا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ إِلَى الْيَمَنِ فَقَالَ ادْعُهُمْ إِلَى شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنِّي رَسُولُ اللَّهِ فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لِذَلِكَ فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ قَدْ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِي كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لِذَلِكَ فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً فِي أَمْوَالِهِمْ تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ وَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ

“Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Mu’adz radhiallahu ‘anhu ke Yaman, beliau berkata, “Ajaklah mereka kepada syahadah (persaksian) bahwa tidak ada ilah (sesembahan) yang berhak disembah kecuali Allah dan bahwa aku adalah utusan Allah. Jika mereka telah menaatinya, maka beritahukanlah bahwa Allah mewajibkan atas mereka shalat lima waktu sehari semalam. Dan jika mereka telah menaatinya, maka beritahukanlah bahwa Allah telah mewajibkan atas mereka shadaqah (zakat) dari harta mereka yang diambil dari orang-orang kaya mereka dan diberikan kepada orang-orang faqir mereka.” [HR. al-Bukhari no. 1395 dan Muslim no. 19. Redaksi di atas adalah redaksi al-Bukhari.]

Nabi menjadikan perintah menunaikan zakat setelah menaati mereka untuk masuk ke dalam Islam. Demikian pula kata ganti (dhamir) pada frasa “أَغْنِيَائِهِمْ” yang berarti adalah orang-orang kaya yang telah menaati mereka dan masuk ke dalam Islam, di mana zakat juga akan dikembalikan kepada orang-orang fakir mereka (kaum muslimin). [Al-Muhalla, 4: 4]

Dalil ijmak

Sejumlah ulama seperti an-Nawawi dan Ibnu Rusyd mengutip adanya ijmak bahwa zakat diwajibkan kepada seorang muslim. [Al-Majmu’, 5: 326;  Bidayah al-Mujtahid, 1: 245]

An-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Kewajiban zakat atas setiap orang yang merdeka dan muslim adalah hal yang jelas (zhahih) berdasarkan keumuman dalil al-Quran, as-Sunnah, dan ijmak.” [Al-Majmu’, 5: 326]

Baca Juga: Hukum Memberikan Zakat Bagi Non-Muslim dan di Negeri Non-Muslim

Merdeka

Zakat diwajibkan kepada pemilik harta yang merdeka, bukan budak. Hal ini karena jika dia seorang budak, meski terkadang dapat memiliki harta (al-mukatab), kepemilikannya terhadap harta tidaklah sempurna.

Dalil ijmak

An-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Kewajiban zakat atas setiap orang yang merdeka dan muslim adalah hal yang jelas (zhahir) berdasarkan keumuman dalil al-Qur’an, as-Sunnah dan ijmak.” [Al-Majmu’, 5: 326]

Ibnu Rusyd mengatakan, “Adapun kepada siapa zakat itu diwajibkan, maka kaum muslimin bersepakat bahwa zakat diwajibkan kepada setiap muslim yang berakal, memiliki harta yang telah mencapai nishab dengan kepemilikan yang sempurna.” [Bidayah al-Mujtahid, 1: 245]

Hukum zakat atas budak

Tidak ada kewajiban zakat pada seorang budak. Pendapat ini merupakan pendapat mayoritas ulama dan sebagian ulama mengklaim ijmak dalam hal ini. [Al-Mughni, 2: 464; Syarh Mukhtashar Khalil, 2: 181]

Ibnu Qudamah mengatakan, “Zakat tidaklah wajib kecuali atas setiap orang yang merdeka, muslim, dan memiliki kepemilikan terhadap harta (obyek zakat) yang sempurna. Pendapat ini merupakan pendapat mayoritas ulama dan kami tidak mengetahui ada yang menyelisihinya selain Atha’ dan Abu Tsaur. Mereka berdua mengatakan seorang budak tetap wajib mengeluarkan zakat hartanya.” [Al-Mughni, 2: 464]

Alasannya adalah:

  • Seorang budak tidak memiliki hak kepemilikan. [Hasyiyah Ibnu Abidin, 2: 259]
  • Zakat menuntut adanya pengalihan hak kepemilikan. Seorang yang tidak memiliki hak kepemilikan tidak mungkin mengalihkannya kepada orang lain. [Tabyin al-Haqaiq, 1: 253]

Hukum zakat atas harta al-mukatab

Al-Mukatab adalah budak yang pembebasan dirinya ditetapkan dengan suatu harga tertentu. Apabila budak tersebut bekerja dan menebus dirinya dengan harga tersebut, maka dia dibebaskan. [Aniis al-Fuqaha, 1: 61]

Syaikh Ibnu Utsaimin mengatakan, “al-Mukatab adalah para budak yang membeli kebebasan diri dari pemilik mereka. Kata al-mukatab berasal dari kata al-kitabah, karena dalam perjanjian tercantum tulisan (al-kitabah) antara pemilik dan budak.” [asy-Syarh al-Mumti’, 6: 229]

Zakat tidaklah diwajibkan atas harta al-mukatab. Ulama madzhab yang empat bersepakat akan hal ini. Sebagian ulama mengklaim adanya ijmak. [Badai’ ash-Shanai’, 2: 6; Hasyiyah ad-Dasuqi, 1: 431; al-Majmu’, 5: 326; al-Inshaf, 3: 7; Al-Mughni, 10: 415]

Ibnu Qudamah mengatakan, “Kesimpulan, tidak ada zakat yang diwajibkan kepada al-mukatab tanpa ada perselisihan pendapat sependek pengetahuan kami.” [Al-Mughni, 10: 415]

Alasan mengapa al-mukatab tidak diwajibkan mengeluarkan zakat adalah karena statusnya adalah budak, maka kepemilikannya terhadap harta tidak sempurna. Karena itu tidak ada kewajiban zakat atas dirinya hingga dibebaskan. [Al-Ijma’, hlm. 47; al-Mughni, 2: 464]

Baca Juga: Mengeluarkan Zakat Fitri Lebih Awal

Apakah muzakki dipersyaratkan harus berakal dan dewasa (baligh)?

Berakal dan dewasa bukanlah syarat wajib zakat. Pendapat ini merupakan pendapat mayoritas ulama. [Al-Kaafi fi Fiqhi Ahli al-Madinah, 1: 284; Tuhfah al-Muhtaj, 3: 330; al-Mughni, 2: 464]

Dalil al-Qur’an

Allah Ta’ala berfirman,

خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka.” [QS. at-Taubah: 103]

Firman Allah di atas berlaku umum kepada setiap anak kecil dan dewasa, berakal dan gila. [Al-Muhalla, 4: 4]

Dalil as-Sunnah

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Mu’adz,

فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً فِي أَمْوَالِهِمْ تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ وَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ

“Maka beritahukanlah bahwa Allah telah mewajibkan atas mereka shadaqah (zakat) dari harta mereka yang diambil dari orang-orang kaya mereka dan diberikan kepada orang-orang faqir mereka.” [HR. al-Bukhari no. 1395 dan Muslim no. 19. Redaksi di atas adalah redaksi al-Bukhari.]

Frasa “أَغْنِيَائِهِمْ” mencakup anak kecil dan orang gila, sebagaimana hal yang sama berlaku pada lafadz “فُقَرَائِهِمْ”. Artinya, sebagaimana zakat itu dibagikan kepada kaum muslimin, baik yang masih kecil maupun yang telah dewasa, demikian pula zakat diambil dari harta kaum muslimin, baik yang masih kecil maupun yang telah dewasa. [Fatawa al-Lajnah ad-Daimah, 9: 411]

Dalil atsar

Dari al-Qasim bin Muhammad, dia berkata,

كانت عائشةُ رَضِيَ اللهُ عنْهَا تَلِيني أنا وأخًا لي يتيمينِ في حِجْرِها، فكانت تُخرِجُ مِن أموالِنا الزَّكاةَ

“Aku dan saudaraku adalah yatim, dan ‘Aisyah radhiallahu ‘anha yang mengasuh kami dan beliau mengeluarkan zakat dari harta kami.” [HR. Malik dalam al-Muwaththa’ 2: 353]

Dalil aqli

  • Zakat diserahkan agar pemberi zakat (muzakki) memperoleh pahala dan agar kalangan fakir memperoleh kenyamanan. Dan anak kecil maupun orang gila termasuk keduanya, yaitu kalangan yang membutuhkan pahala dan juga kenyamanan. Karena itulah, keduanya tetap diwajibkan untuk menafkahi keluarga dan kerabat; serta mereka wajib membebaskan sang ayah apabila misalnya dia  berstatus budak yang berada dalam kepemilikan mereka. dengan begitu, zakat tetap diwajibkan atas harta mereka. [Al-Majmu’, 5: 329]
  • Kewajiban zakat atas harta keduanya dianalogikan dengan status harta mereka yang tetap wajib dikeluarkan untuk menafkahi dan membayar ganti rugi (denda). [Al-Majmu’, 5: 330]
  • Zakat adalah hak fakir yang ada pada harta orang kaya, sehingga kewajiban untuk memenuhinya bersifat setara dan berlaku baik pada mukallaf maupun non-mukallaf (misal anak kecil dan orang gila). [Nihayah al-Muhtaj, 3: 128; asy-Syarh al-Mumti’, 6: 23]

Baca Juga:

[Bersambung]

***

Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim, ST.

Artikel: Muslim.or.id

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *